6.3.11

Titik di Dinding

Dunia terkadang begitu kejam. Berputar 7 x 24 jam tanpa pernah sedetikpun berhenti. Dan ketika kau lahir di dalamnya, sudah ada aturan main yang baku. Aturan yang sudah mencapai pada baris akhir, dan diakhiri dengan titik. Kau ingin menulis aturan baru, tetapi pena yang kau gunakan tak pernah nyata. Kau pun tak dapat mengubah titik tersebut menjadi koma. Semua sudah terlambat, bahkan sebelum kau lahir. Aku pun telah mengalaminya.

Satu hal yang tidak pernah kulupakan, ketika tangan kami saling bergenggaman. Dia menutup matanya, dan aku dengan mata merem melek melihat diriya. Polos tanpa noda. Jariku dapat menghitung denyut jantung di nadi sekitar tangannya. Denyutmu menghanyutkan seperti sungai. Dan ketika kutahu doa yang kami panjatkan adalah sama, semua menjadi satu selama doa berlangsung. Menggenggam tangan tidak kalah dahsyat dengan menggenggam jantung.

Tapi aku tahu, semua itu berlangsung begitu cepat seperti petir menyambar. Begitu besar, tetapi sesaat. Dinding di depan mata terlalu besar dan kokoh. Perbedaan secara morfologis maupun psikologis terlampau jauh. Biarlah dinding tersebut menjadi pembatas kami. Lubang kecil di ujung dinding cukup untuk mengintip sesekali. Aku tahu kalian pasti akan berkata robohkan saja dindingnya. Tetapi dunia akan berbeda ketika dinding tersebut kurobohkan. Dinding tersebut nyata adanya sebelum aku lahir. Dunia pasti mencaciku habis-habisan jika batas tersebut lebur.

Dinding maupun titik tersebut, kedua-duanya sama saja kejam. Andai kata masih ada koma maupun pagar, mungkin sudah kutulis kalimat baru ataupun kulompati. Dunia tidak pernah fleksibel.

Tidak ada komentar: