20.11.16

Kembali

Sudah lebih dari 60 hari kaki ini tidak menginjak ibukota.
Ibukota yang dijuluki sebagai kota penuh impian, di mana seluruh harapan umat-umat di dalamnya akan terdengar jikalau mereka berani bekerja keras. Atau sekadar kena durian runtuh saja.

Kaki ini pun mulai melangkah kembali, menulusuri napak tilas ibu dari segala kota Indonesia.
Jakarta namanya.

Dibimbing cahaya dari para pencakar langit, malam tampak cerah walau tak berbintang.
Tak pernah mata ini tersesat, walau kota diselimuti kegelapan.

Dibisiki ingar-bingar ibukota, telinga ini dengan sabar setia mendengar.
Mendengar seluruh keluh-kesah jalanan yang tak pernah tertidur di penghujung akhir minggu.

Hati ini tidak pernah merasa sendiri, padahal raga hanya sekadar menjadi sunyi diantara segala keriuhan. 

Oh Jakarta. Walaupun kaki telah merantau jauh, rindu rasanya untuk kembali.
Kembali pulang, walau hanya untuk sesaat.

24.8.16

Berdua Saja

Saatnya kita berjalan bersama.
Menua berdua.

Melewati tepi telaga,
yang sunyi tanpa suara.

Mari kita berjalan bersama.
Hingga menua, hanya berdua.

Sembari mensyukuri indahnya suaka dunia,
yang diciptakan olehNya untuk kita.

Terus lah kita berjalan bersama,
Sampai kita menua, berdua saja.


25.6.16

Pasta Perjuangan

Beberapa bulan terakhir, banyak banget tutorial-tutorial masak kekinian yang keliatannya mudah, hasilnya warbyazah, dan menggungah lidah. Tentunya kehadiran video semacam ini membuat hati riang gembirah, terutama bagi kaum-kaum kayak gue yang pengen belajar masak tapi gak pernah kesampean.

Berbekal kuota internet di penghujung bulan dan waktu satu menit, gue menonton cara membuat pasta alfredo, ato apa lah yang saosnya putih-putih gitu pake susu. Oh, gampang ya gini doang. Gumam gue sambil ngangguk-ngangguk optimis. Bahannya gampang pula, tinggal beli di supermarket deket kantor.

Pasta? Ada. Susu? Ada. Minyak zaitun? Ada. Keju, garam, gula, lada, bawang merah dan putih? Ada, ada, ada, ada, ada dan ada. Cuma daun-daun kering seperti basil dan sejenisnya (gak tahu namanya apa) yang kurang. Ya udah lah, rasanya pasti beti alias beda tipis dari yang di tutorial.

Sambil ditemani Pepey, anjing gue yang belum genap setahun, gue mepersiapkan bahan-bahan yang ada dulu. Biar tinggal dimasuk-masukkin gitu. Bawang-bawang pun diongseng dulu dan dilanjutkan dengan  merebus susu sampai buih-buihnya terlihat. Plung, pasta tercemplung ke dalamnya. Mama gue pun masuk ke dapur sebagai cameo dan bertanya, "Win, itu kan pastanya masih kering. Kok dimasukkin ke susu?"

"Iya ma, abisnya di videonya gitu.", kata gue dengan cuek dan agak sotoy. 15 menit pun berlalu. Susu yang udah dimasukin udah hampir tinggal cerita. Tapi pastanya belom empuk-empuk juga. Gue pun menuang susu lagi, berharap pasta akan matang seketika. 20 menit berlalu. Pastanya ga empuk-empuk juga. Sejak kapan masak pasta jadi segini lama? Perasaan di WarPas (Warung Pasta, tempat nongkrong anak gaul kehabisan budget) aja cepet banget. Kalo ngabisin 30 menit persediaan gas buat masak sepiring pasta doang mah, rugi ateuh!

Akhirnya gue sadar, kayaknya gue yang kurang teliti atau udah kelewat seneng ngeliat tutorial gampang, yang berakhir pada sebuah perjuangan panjang. Alhasil dapur hampir gak karuan, bekas-bekas motong belom diberesin, wajan lengket parah, dan muka gue dengan bakwan dingin pun hampir susah dibedakan.

Tanpa perlu menyediakan gambar, akhirnya pasta tersebut jadi juga dengan perjuangan tiada akhir 30 menit, gak termasuk persiapan bumbu lho. Rasanya? Hampir di bawah SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Minimal). Gak bikin riang gembira ato menggoda lidah. Tapi lumayan jadi pelipur lara, masih naik kelas. Sukur-sukur masakannya masih jadi dan punya rasa. Lah kalo kagak? Pepey aja ogah makannya.