Menahan rindu sama seperti membendung air sungai yang seharusnya mengalir bebas. Semakin lama kamu bendung, semakin penuh juga rasa itu. Dan kamu tak tahu kapan akan meluap bebas, menghancurkan tembok hati yang kamu kira kokoh. Hatimu akan tenggelam, dan tak tahu bagaimana cara kembali ke permukaan
Biarkan rindu itu mengalir seperti sungai yang tahu kemana kah arahnya kan bermuara. Secara perlahan namun pasti, nelangsa namun tak membunuh, walau hati sudah lelah menunggu. Biarkan hatiku, juga hatimu, tetap diam dalam rindu. Menunggu, dan terus menunggu hingga aku kembali pada kamu dan juga diriMu.
19.12.14
17.12.14
On Any Book An Plumb Pleasant
Mungkin impresi pertama kalian ketika melihat judul adalah adanya kesalahan struktur kata dalam bahasa Inggris. Biar gue jawab terlebih dahulu. Hari ini gue mendapatkan pelatihan copywriting dari salah satu ECD ahensi lokal. Modul pelatihannya cukup menarik, salah satunya dengan menulis cerita dari kata-kata mural truk yang disediakan. Akhirnya saya memilih kalimat ini.
On Any Book an Plumb Pleasant
Cara bacanya seperti ini: onani bukan pelampiasan.
Oke, di satu sisi ini cukup absurd. Salah satu peserta yang berhijab pink cukup tercengang ketika melihat variasi kata mural truk yang ada. Jangan lupa bayangkan mimik wajahnya, dan kamera langsung melakukan zoom in.
Sebagai pria, gue gak setuju kalo onani itu pelampiasan. Itulah yang mendasari gue mengambil topik ini dibandingkan topik lainnya. Dengan waktu yang terbatas, gue pun menulis ceritanya seperti ini.
Judul: Onani Bukan Pelampiasan
Asep yang baru saja beranjak dewasa merasakan mimpi basah pertama. Celananya yang kering mendadak jadi lengket dan lembab dalam waktu semalam. "Bau, agak pesing.", sambil menendus celananya. Yang hanya ia ingat cuma sesosok perempuan telanjang pada bunga tidur yang terlalu indah untuk dilupakan.
Hari ke hari nafsi birahi Asep semakin tinggi. Sambil mengintip celananya, ia hanya berkata "Aku telah dewasa.". Ia pun pergi ke warnet di desa sebelah untuk membuka situs dewasa. Namun ketika sampai, hati kecilnya berkata.
Jangan!
"Asep, Asep. Apa yang kamu pikirkan?", sahut dirinya sendiri. Segera Asep pulang ke rumah untuk mengurungkan niatnya. Tak sengaja ia menemukan majalah dewasa yang dijual murah di warung sebelah.
Intermezzo: (Gue sempat berpikir, warung mana ya yang jual majalah dewasa dan murah?)
Apa daya imroh lebih kuat dari iman. Dibeli lah majalah dewasa itu esok hari sepulang sekolah. Asep, oh Asep.
"Wah, gak ada emak di rumah nih.", tanpa menunggu lama ia membuka celananya sambil memegang kelaminnya kencang-kencang. Wajahnya yang berkeringat menceritakan betapa puas onani pertamanya.
Tanpa sadar akan situasi sekeliling, emak pun pulang dan memergoki Asep yang sedang onani. "APA YANG SEDANG KAU PERBUAT?", teriak mamanya dengan penuh amarah dari neraka.
Asep yang sedang asik memegang kelaminnya hanya berdiri gemetar sambil berkata, "Onani bukan pelampiasan, tapi kebutuhan!"
Para peserta workshop cukup tercengang ketika gue membawakan topik ini. Apalagi melakukan adegan pura-pura memegang alat kelamin kencang-kencang sambil onani di depan perempuan berhijab pink.
On Any Book an Plumb Pleasant
Cara bacanya seperti ini: onani bukan pelampiasan.
Oke, di satu sisi ini cukup absurd. Salah satu peserta yang berhijab pink cukup tercengang ketika melihat variasi kata mural truk yang ada. Jangan lupa bayangkan mimik wajahnya, dan kamera langsung melakukan zoom in.
Sebagai pria, gue gak setuju kalo onani itu pelampiasan. Itulah yang mendasari gue mengambil topik ini dibandingkan topik lainnya. Dengan waktu yang terbatas, gue pun menulis ceritanya seperti ini.
Judul: Onani Bukan Pelampiasan
Asep yang baru saja beranjak dewasa merasakan mimpi basah pertama. Celananya yang kering mendadak jadi lengket dan lembab dalam waktu semalam. "Bau, agak pesing.", sambil menendus celananya. Yang hanya ia ingat cuma sesosok perempuan telanjang pada bunga tidur yang terlalu indah untuk dilupakan.
Hari ke hari nafsi birahi Asep semakin tinggi. Sambil mengintip celananya, ia hanya berkata "Aku telah dewasa.". Ia pun pergi ke warnet di desa sebelah untuk membuka situs dewasa. Namun ketika sampai, hati kecilnya berkata.
Jangan!
"Asep, Asep. Apa yang kamu pikirkan?", sahut dirinya sendiri. Segera Asep pulang ke rumah untuk mengurungkan niatnya. Tak sengaja ia menemukan majalah dewasa yang dijual murah di warung sebelah.
Intermezzo: (Gue sempat berpikir, warung mana ya yang jual majalah dewasa dan murah?)
Apa daya imroh lebih kuat dari iman. Dibeli lah majalah dewasa itu esok hari sepulang sekolah. Asep, oh Asep.
"Wah, gak ada emak di rumah nih.", tanpa menunggu lama ia membuka celananya sambil memegang kelaminnya kencang-kencang. Wajahnya yang berkeringat menceritakan betapa puas onani pertamanya.
Tanpa sadar akan situasi sekeliling, emak pun pulang dan memergoki Asep yang sedang onani. "APA YANG SEDANG KAU PERBUAT?", teriak mamanya dengan penuh amarah dari neraka.
Asep yang sedang asik memegang kelaminnya hanya berdiri gemetar sambil berkata, "Onani bukan pelampiasan, tapi kebutuhan!"
Para peserta workshop cukup tercengang ketika gue membawakan topik ini. Apalagi melakukan adegan pura-pura memegang alat kelamin kencang-kencang sambil onani di depan perempuan berhijab pink.
Labels:
kehidupan sehari-hari,
onani,
pria
11.12.14
Kuah Kecap
Kantin kantoran itu memang salah satu surga kuliner. Dari makanan rumahan sampe yang per porsinya harus dimasak khusus. Namun apapun variasi makanan di sana, hati gue tetap jatuh sama nasi uduk. Apalagi di sini pake empal goreng. Wih sedap mamak!
Berhubung gue orangnya males banget untuk turun ke bawah, gue dan satu tim lebih memilih bantuan OB untuk membeli makanan sebelum makan siang. Berhubung waktu itu gue mendadak harus pergi survey, nasi uduk yang tadinya gue pesan terpaksa nganggur sampai jam 5 sore. Akhirnya gue membuka kotak nasi uduk, dengan kuah kecap yang dibungkus kebanyakkan di sebelahnya. Kurang kerjaan kali ya ngasih gue kuah uda kayak ngasi air mineral gelas.
Ga pake ba bi bu, gue langsung asal sirem sedikit kuah kecap di atas nasi. Dipikir-pikir gak mau yang terlalu basah, nanti gak enak. Bener aja, kuahnya gak berasa di lidah. Berakhir lah nasib si kuah kecap di tong sampah.
Beberapa hari kemudian, gue gak sempet lagi turun ke kantin. Karena hari itu OB lagi gak bisa bantu beliin makanan, gue minta salah satu temen kerja gue, Mas Jelot, untuk beliin paket nasi uduk empal goreng. Seperti biasa, dateng dengan kuah kecap.
Kali ini gue memutuskan untuk tidak memakai kuah kecap, takut trauma ceritanya. Untuk kedua kalinya, kuah kecap harus berakhir di tong sampah. Tiba-tiba Mas Jelot kaget...
"Eh jangan dibuang, itu kan Teh Botol!"
Lah piye toh... Bukannya itu kuah kecap? Sahut gue dengan penuh kebingungan. Lagipula Teh Botol cemana yang datang tapi gak pake sedotan?
Kata Mas Jelot, cara minumnya itu harus digigit ujungnya. Berasa inget jajanan anak SD. Setelah dicoba, eh beneran aja itu Teh Botol!
Jadi kemaren ini gue makan nasi uduk pake aer teh? Hancur hati awak!
Cemana ini kantin ngasi teh nape kagak pake sedotan? KZL atuh saya!
Berhubung gue orangnya males banget untuk turun ke bawah, gue dan satu tim lebih memilih bantuan OB untuk membeli makanan sebelum makan siang. Berhubung waktu itu gue mendadak harus pergi survey, nasi uduk yang tadinya gue pesan terpaksa nganggur sampai jam 5 sore. Akhirnya gue membuka kotak nasi uduk, dengan kuah kecap yang dibungkus kebanyakkan di sebelahnya. Kurang kerjaan kali ya ngasih gue kuah uda kayak ngasi air mineral gelas.
Nasi Uduk dan si Kuah Kecap |
Beberapa hari kemudian, gue gak sempet lagi turun ke kantin. Karena hari itu OB lagi gak bisa bantu beliin makanan, gue minta salah satu temen kerja gue, Mas Jelot, untuk beliin paket nasi uduk empal goreng. Seperti biasa, dateng dengan kuah kecap.
Kali ini gue memutuskan untuk tidak memakai kuah kecap, takut trauma ceritanya. Untuk kedua kalinya, kuah kecap harus berakhir di tong sampah. Tiba-tiba Mas Jelot kaget...
"Eh jangan dibuang, itu kan Teh Botol!"
Lah piye toh... Bukannya itu kuah kecap? Sahut gue dengan penuh kebingungan. Lagipula Teh Botol cemana yang datang tapi gak pake sedotan?
Kata Mas Jelot, cara minumnya itu harus digigit ujungnya. Berasa inget jajanan anak SD. Setelah dicoba, eh beneran aja itu Teh Botol!
Jadi kemaren ini gue makan nasi uduk pake aer teh? Hancur hati awak!
Cemana ini kantin ngasi teh nape kagak pake sedotan? KZL atuh saya!
20.11.14
Susahnya Jadi Anak Kos
Menjadi anak kos itu bukanlah hal yang mudah. Itulah satu tantangan yang baru-baru ini gue rasakan. Jadi anak kos susah banget, apalagi kalo sebelumnya gak pernah ada rencana ngekos.
"Lah terus kok seorang Aming bisa mendadak mau ngekos? Dapet kerjaan baru yak?"
Di satu sisi, iya. Tapi alasan utamanya tidak lain karena gue diusir sama mama gue. Eits jangan salah kaprah dulu, gue bukan anak durhaka macam Malin Kundang yang pergi meninggalkan mama demi menjadi femes ala penyanyi-penyanyi dangdut. Melainkan gak ada ba bi bu, mama gue mau renovasi rumah. Gue dikasih waktu deadline seminggu untuk nyari kos. Uh lala, mama jangan jadi klien di ahensi yang kasih kerjaan mepet deh.
Alhasil gue menemukan kos yang cukup strategis, dengan harga agak sedikit lebih mahal. Ya mau gak mau, udah mepet gitu ceritanya. Gue pun harus menguras sebagian tabungan gue untuk memperpanjang masa hidup gue di Ibukota Jakarta. To live or to die cyin!
Masa-masa gue bertahan hidup dimulai dari pemotongan bujet untuk membeli keperluan sehari-hari. Untuk makan pun gue jadi mempertimbangkan untuk membeli makanan yang lebih murah, kurangin nong-can (nongkrong cantik), sampai pernah beli barang yang cuma lebih murah 2-3 ribu rupiah. Sempet juga mikir kalo duit gue abis, gue makan pake apa nanti? Gue pun makin memotivasi diri untuk menjadi hemat. Namun suatu hari iman gue diuji oleh Yang Maha Kuasa.
Gue lupa membawa sampo ketika pindahan. Alhasil selama ini gue memakai sabun yang mempunyai fungsi sebagai sampo. Bisa aja sih gue pake sabun ini, tapi lebih enak dijadiin sabun karena mint-mint seger gimana gitu di badan. Selangkangannya kayak ditaruh es batu, to be precise. Gue pun memberanikan diri ke supermarket deket kantor.
Di sana gak ada sampo yang biasa gue cari. Mau balik pake sampo yang branding-nya sampo keluarga, tapi nambah dikit dapet sampo yang lebih bagus. Setelah berdiam diri 30 menit (ya, gue bisa melakukan ini ketike mencari barang sepele), gue memutuskan untuk membeli Loreal karena lagi didiskon. Tiga ribu rupiah lebih murah dari harga asli, tiga ribu rupiah lebih mahal dari si sampo keluarga itu. Gue pun pulang dengan penuh rasa bangga di dada.
Tanpa basa basi, gue langsung bergegas ke rumah untuk melakukan prosesi sakral: keramas! Kapan lagi pake sampo yang bagusan dikit tapi kena diskon? Sesampai di kamar kos, langsung gue membuka baju dan basahin badan. Gue tuang sampo berwarna putih itu, dan digosokkan di kepala. Loh kok udah gosok lama gak ada busanya? Emang gini kali ya sampo Loreal.
Sambil membasahi wajah, gue pelan-pelan membuka mata dan membaca samponya lebih detail. BANGSAT, terdengengar gema kata tersebut yang hanya memantul di kamar mandi. Ternyata yang gue beli itu conditioner! Misi mulia gue gagal total!
"Lah terus kok seorang Aming bisa mendadak mau ngekos? Dapet kerjaan baru yak?"
Di satu sisi, iya. Tapi alasan utamanya tidak lain karena gue diusir sama mama gue. Eits jangan salah kaprah dulu, gue bukan anak durhaka macam Malin Kundang yang pergi meninggalkan mama demi menjadi femes ala penyanyi-penyanyi dangdut. Melainkan gak ada ba bi bu, mama gue mau renovasi rumah. Gue dikasih waktu deadline seminggu untuk nyari kos. Uh lala, mama jangan jadi klien di ahensi yang kasih kerjaan mepet deh.
Alhasil gue menemukan kos yang cukup strategis, dengan harga agak sedikit lebih mahal. Ya mau gak mau, udah mepet gitu ceritanya. Gue pun harus menguras sebagian tabungan gue untuk memperpanjang masa hidup gue di Ibukota Jakarta. To live or to die cyin!
Masa-masa gue bertahan hidup dimulai dari pemotongan bujet untuk membeli keperluan sehari-hari. Untuk makan pun gue jadi mempertimbangkan untuk membeli makanan yang lebih murah, kurangin nong-can (nongkrong cantik), sampai pernah beli barang yang cuma lebih murah 2-3 ribu rupiah. Sempet juga mikir kalo duit gue abis, gue makan pake apa nanti? Gue pun makin memotivasi diri untuk menjadi hemat. Namun suatu hari iman gue diuji oleh Yang Maha Kuasa.
Gue lupa membawa sampo ketika pindahan. Alhasil selama ini gue memakai sabun yang mempunyai fungsi sebagai sampo. Bisa aja sih gue pake sabun ini, tapi lebih enak dijadiin sabun karena mint-mint seger gimana gitu di badan. Selangkangannya kayak ditaruh es batu, to be precise. Gue pun memberanikan diri ke supermarket deket kantor.
Di sana gak ada sampo yang biasa gue cari. Mau balik pake sampo yang branding-nya sampo keluarga, tapi nambah dikit dapet sampo yang lebih bagus. Setelah berdiam diri 30 menit (ya, gue bisa melakukan ini ketike mencari barang sepele), gue memutuskan untuk membeli Loreal karena lagi didiskon. Tiga ribu rupiah lebih murah dari harga asli, tiga ribu rupiah lebih mahal dari si sampo keluarga itu. Gue pun pulang dengan penuh rasa bangga di dada.
Tanpa basa basi, gue langsung bergegas ke rumah untuk melakukan prosesi sakral: keramas! Kapan lagi pake sampo yang bagusan dikit tapi kena diskon? Sesampai di kamar kos, langsung gue membuka baju dan basahin badan. Gue tuang sampo berwarna putih itu, dan digosokkan di kepala. Loh kok udah gosok lama gak ada busanya? Emang gini kali ya sampo Loreal.
Sambil membasahi wajah, gue pelan-pelan membuka mata dan membaca samponya lebih detail. BANGSAT, terdengengar gema kata tersebut yang hanya memantul di kamar mandi. Ternyata yang gue beli itu conditioner! Misi mulia gue gagal total!
4.11.14
Good Morning, Cadas
Gak terasa sekarang gue udah umur 22, dan konflik batin untuk mencari kerja pun semakin besar. Rasanya tuh ya pilu banget ngeliat teman-temin yang udah dapet kerja duluan, sementara pantat gue masih nungging-nungging di ranjang. Tebar portofolio ke sana, ke sini, eh akhirnya ada yang nyantol juga! Singkat kata gue akhirnya lolos interview dan tes dari tim kreatif. Gue pun dioper ke salah satu petinggi HRD di kantor tersebut. Panggil saja dia Ms. D.
Ms. D ini terlihat cukup tegas. Pelafalan bahasa inggrisnya HarPot banget, berasa kayak ngomong sama Hermione. Layaknya seorang petinggi, setiap omongan dia itu membuat gue tersihir. Seakan-akan ada kata magis yang membuat gue tetap terjaga. Untung aja gak di expecto patronum, bisa enyah gue!
Setelah berbincang, gue pun diberitahu Ms. D untuk menunggu hasil interview sampai Jumat. Sempat berasa resah takut gak keterima, sekitar pukul 20.15 gue dapet SMS dari Ms. D mengenai penawaran lebih lanjut. Op kors gue girang banget! Cara dia melafalkan kata-kata bisa gue bayangkan dari SMS yang doi kirim. Dari nada sampai mimik, gak ada yang kesekip satu pun!
Selang beberapa hari, gue pun mengetik SMS dia kembali untuk memberi konfirmasi mengenai email yang gue kirim. Kurang lebih begini lah balasannya...
"Morning Cadas, yes i have it."
Wih, si Ms. D tau aja gue anaknya *cadas. Keren banget HRnya bisa tahu gue punya sisi cadas dalam sekali ketemu! Agen FBI kali ya? Atau dia melakukan interview mendalam kepada keluarga dan teman-temin gue secara rahasia? Who knows. Gue bangga banget dibilang cadas, sambil membayangkan nada dan mimik doi yang tegas. Selang gak beberapa lama dia SMS balik.
"Sorry got the wrong name Darwin :)"
Ya keleuz, ternyata Cadas adalah salah satu nama kandidat yang mau diinterview sama Ms. D juga. Kesimpulan: Ms. D salah sebut nama. Yah PHP nih!
*Cadas = keren
Ms. D ini terlihat cukup tegas. Pelafalan bahasa inggrisnya HarPot banget, berasa kayak ngomong sama Hermione. Layaknya seorang petinggi, setiap omongan dia itu membuat gue tersihir. Seakan-akan ada kata magis yang membuat gue tetap terjaga. Untung aja gak di expecto patronum, bisa enyah gue!
Setelah berbincang, gue pun diberitahu Ms. D untuk menunggu hasil interview sampai Jumat. Sempat berasa resah takut gak keterima, sekitar pukul 20.15 gue dapet SMS dari Ms. D mengenai penawaran lebih lanjut. Op kors gue girang banget! Cara dia melafalkan kata-kata bisa gue bayangkan dari SMS yang doi kirim. Dari nada sampai mimik, gak ada yang kesekip satu pun!
Selang beberapa hari, gue pun mengetik SMS dia kembali untuk memberi konfirmasi mengenai email yang gue kirim. Kurang lebih begini lah balasannya...
"Morning Cadas, yes i have it."
Wih, si Ms. D tau aja gue anaknya *cadas. Keren banget HRnya bisa tahu gue punya sisi cadas dalam sekali ketemu! Agen FBI kali ya? Atau dia melakukan interview mendalam kepada keluarga dan teman-temin gue secara rahasia? Who knows. Gue bangga banget dibilang cadas, sambil membayangkan nada dan mimik doi yang tegas. Selang gak beberapa lama dia SMS balik.
"Sorry got the wrong name Darwin :)"
Ya keleuz, ternyata Cadas adalah salah satu nama kandidat yang mau diinterview sama Ms. D juga. Kesimpulan: Ms. D salah sebut nama. Yah PHP nih!
*Cadas = keren
17.9.14
Kematian
Apakah itu kematian? Tentunya kematian memiliki banyak arti tergantung paham masing-masing. Kalian bisa menjawab pertanyaan ini secara harafiah atau falsafah. Bebas, tidak ada aturan baku yang berkata ya maupun tidak.
Merujuk dari KBBI, kata mati secara harafiah memiliki arti sudah hilang nyawanya atau tidak hidup lagi. Awalan ke- dengan akhiran -an menambahkan pernyataan sedang dalam keadaan. Sehingga kombinasi antara kata kerja dan imbuhan ini melahirkan sebuah makna baru: sedang dalam keadaan mati. Logikanya, jika objek tersebut sedang dalam keadaan mati, berarti kamu tidak dapat bertemu dengan dia kembali bukan?
Namun apakah kematian benar-benar membawa manusia kepada sebuah perpisahan abadi? Pernahkah kamu merasa kematian adalah awal dari sebuah perjumpaan yang engkau selalu rindukan? Terkadang kematian seorang rekan yang sangat kita kasihi dapat menjadi sebuah kapsul waktu. Membawamu ke awal perjumpaan yang abadi. Tentunya hukum ruang dan waktu tak akan berlaku di sini.
Dalam hitungan sepersekian detik, kesadaranmu akan ditarik kembali ke masa saat kamu pertama atau terakhir kali bertemu dirinya. Entah saat kamu menangis tak bisa berkata karena kamu hanyalah seorang bayi pada saat itu, atau menangis lirih dengan segala penyesalan menduri di dada. Tidak ada yang terlambat, namun semua sudah terjadi. Kamu tidak perlu repot-repot menyesali karena ini adalah sebuah pelajaran hidup.
Suatu saat kita semua pasti akan mati. Saya membebaskan kamu untuk berasumsi ini adalah sebuah pertemuan atau sebuah perpisahan. Tapi janganlah kamu takut. Ketika kamu merasa hampa, saya akan selalu senantiasa ada. Saya pun percaya kalian akan tetap ada, mendekap hangat memeluk rasa.
Kelak waktunya tiba, ini adalah sebuah momen bahagia dalam sedih, sedih dalam bahagia. Sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, tak dapat dibuktikan tapi cukup kamu rasakan. Dan di sini saya diuji untuk percaya, bahwa kamu akan selalu ada. Selamanya.
13 September 2014, 01:01
29.8.14
Les Misérables: Sebuah Pergejolakan Batin
"I am 24601!", sepenggal kalimat singkat yang dilatunkan Colm Wilkinson sebagai Jean Valjean pada drama musikal Les Misérables cukup menohok-hok-hok hati gue ketika menonton dirinya di Youtube. Secara ringkas, Les Misérables menceritakan mengenai perjuangan para pejuang revolusi Perancis (fiktif) dari berbagai sudut pandang. Lantunan nada dan liriknya yang jleb gak sekali aja ngebuat mewek ketika nonton drama musikal ini.
Walau pada penceritaan setiap karakternya tidak sedetail di buku, mereka cukup baik memberikan gambaran bagaimana gejolak batin yang dialami setiap karakter. Gue akan coba menjabarkan pergejolakan yang dialami beberapa dari tokoh-tokoh yang ada.
Jean Valjean: Apakah dia harus mengaku bahwa ia sebenarnya penjahat yang selama ini menjadi incaran polisi? Kalau saya tidak mengaku, orang yang dituduh sebagai diri saya akan masuk penjara! Jika saya mengaku, habislah saya!
Dan akhirnya saya mengaku sayalah penjahat yang selama ini kalian cari! Saya harus menyelinap diam-diam pergi dari tempat ini, meninggalkan apa yang saya miliki sekarang untuk kehidupan yang damai.
Javert: Saya adalah penegak keadilan. Sudah lama saya mengincar Jean Valjean untuk kembali dimasukkan ke dalam penjara! Namun mengapa saya menerima pertolongan dari seorang penjahat?
Kebenaran adalah abu-abu. Yang baik berbuat jahat, yang jahat berbuat baik? Saya tidak tahu mana lagi yang benar!
Eponine: Hanya Marius yang ada dipikiran saya. Tidak ada pria terbaik selain dirinya! Tapi apa daya dia cinta mati terhadap Cosette, anak dari Jean Valjean. Haruskah saya mengorbankan diri saya agar Marius tidak tertembak dikala perang?
Tubuh saya secara tidak sadar bergerak menghalangi peluru yang akan menembus tubuh Marius. Saya tidak tahu lagi apa yang saya perbuat, cinta itu buta. Semoga Marius dapat mencintai saya walau hanya sekedar ilusi, untuk yang terakhir kalinya.
Tiga tokoh yang gue jabarkan udah pasti toko favorit gue! Gak sekali aja lagu-lagu mereka gue puter terus, saking adiktifnya. Drama musikal ini menjadi refleksi buat gue yang kadang mengalami pergejolakan batin. Haruskah gue mengorbankan diri untuk seseorang? Ya mungkin belum bisa gue jawab, semoga ketika waktunya tiba, gue dapat berbuat sesuai kata hati gue.
Who Am I by Colm Wilkinson
Labels:
drama musikal,
les miserables,
refleksi
26.8.14
Keluh Kesah Pekerja Industri Kreatif
Tidak bisa dipungkiri kalau pekerja di industri kreatif Indonesia semakin lama semakin berkembang. Bisa dilihat dari hasil karya para pekerja muda kreatif seperti dalam bentuk desain maupun tulisan. Namun tidak dapat dipungkiri mereka masih dipandang sebelah mata. Ironinya, mereka juga mendapat pandangan yang sama oleh sesama kolega senior. Seperti salah seorang teman saya yang menyandang gelar dari Australia dan mempunyai portofolio yang baik. Sebagai graphic designer, ia pernah ditawari gaji sebesar 2,6 juta rupiah per bulan. Itupun... kalau lulus probation!
Saya pun sebagai copywriter juga merasakan hal seperti itu. Masih banyak yang tidak bisa menghargai betapa pentingnya pekerjaan seorang penulis yang menyusun dan memperindah informasi supaya lebih mudah dicerna. Mengapa pekerjaan kita selalu dipandang sebelah mata? Bagaimana muda-mudi ingin terjun ke industri kreatif kalau mereka tidak dihargai dengan layak? Bahkan ada saja yang sudah terjun lama namun tetap bernasib sama.
Saya tidak tahu sampai kapan industri kreatif akan mengalami hal seperti ini. Diperlukan sebuah gerakan agar mereka dapat menghargai karya-karya kami. Sampai sekarang saya sendiri pun tidak tahu apakah itu. Namun saya percaya, suatu saat akan ada jalannya.
Rasanya ingin menulis lebih panjang... namun sudahlah, daripada makin manyun!
Saya pun sebagai copywriter juga merasakan hal seperti itu. Masih banyak yang tidak bisa menghargai betapa pentingnya pekerjaan seorang penulis yang menyusun dan memperindah informasi supaya lebih mudah dicerna. Mengapa pekerjaan kita selalu dipandang sebelah mata? Bagaimana muda-mudi ingin terjun ke industri kreatif kalau mereka tidak dihargai dengan layak? Bahkan ada saja yang sudah terjun lama namun tetap bernasib sama.
Saya tidak tahu sampai kapan industri kreatif akan mengalami hal seperti ini. Diperlukan sebuah gerakan agar mereka dapat menghargai karya-karya kami. Sampai sekarang saya sendiri pun tidak tahu apakah itu. Namun saya percaya, suatu saat akan ada jalannya.
Rasanya ingin menulis lebih panjang... namun sudahlah, daripada makin manyun!
7.8.14
Dalam Secangkir Kopi
Dalam secangkir kopi, terpendam seribu memori.
Tak heran setiap perjalanan kita kuingat sangat terperinci.
Dalam secangkir kopi, tersedu luapan semangat diri.
Hangatnya kerap menyambut pagi yang dingin untuk mengawali hari.
Dalam secangkir kopi, tersimpan rahasia tuk tidak mengenal lelah.
Seperti diriku yang tidak pernah lelah melapangkan dada ketika bersamamu.
Dalam secangkir kopi, aku merindukanmu.
7 Agustus,
Ketika aku puasa kopi hanya untuk sehari.
Tak heran setiap perjalanan kita kuingat sangat terperinci.
Dalam secangkir kopi, tersedu luapan semangat diri.
Hangatnya kerap menyambut pagi yang dingin untuk mengawali hari.
Dalam secangkir kopi, tersimpan rahasia tuk tidak mengenal lelah.
Seperti diriku yang tidak pernah lelah melapangkan dada ketika bersamamu.
Dalam secangkir kopi, aku merindukanmu.
7 Agustus,
Ketika aku puasa kopi hanya untuk sehari.
Labels:
filosofi kopi,
kopi
4.8.14
Indonesia dalam AIUEO
Indonesia dulu Macan Asia.
Berdiri kokoh dengan bangga.
Penuh rasa untuk negara.
Namun semua telah sirna.
Diri menjerit tanpa henti.
Akan kemerdekaan tiada pasti.
Kini semua tinggal alegori.
Mengawang tinggi menuju mimpi.
Hanyut dalam masa lalu.
Rasa pedih terus mendayu.
Pilu terasa sedari dulu.
Memar sudah hingga biru.
Generasi kini tampil perlente.
Kalau bersanding mental tempe.
Sembako saja masih mengantre.
Namun penampilan harus kece.
Semua hal dianggap porno.
Oleh satu pemikiran kuno.
Bangsa tetap melangkah sembrono.
Kala dikomando pemimpin dongo.
18 Juli 2014,
ketika rakyat Indonesia
bermadah pada negara.
Labels:
Indonesia,
what's on my mind
Langganan:
Postingan (Atom)