Kakimu berpijak pada pasir, yang diam-diam menyelinap ke sela-sela jari kakimu. Kamu menghirup napasmu dalam-dalam, mengusir hiruk pikuk polusi kota. Kamu melepas kawanan polusi di paru-parumu dalam satu hembusan yang halus, tanpa syarat. Pandanganmu tidak pernah lepas dari bola semesta, yang selalu menyinarimu di kala jingga telah datang.
Matamu selalu bertanya-tanya akankah aku pulang dari sana, wahai aku yang tak pernah kembali?
Kamu sudah tahu jawabannya, tetapi sel otak selalu membohongimu. Seakan semuanya tak pernah terjadi, di kala sore itu. Kamu melihat kepergianku di atas kapal kecil, sembari disiram jingga yang mempesona. Yang dapat kamu dekap hanya sebatas karbon dioksida yang kuhembus bersama angin darat, yang meniup tanpa dibayar. Melihatku hilang ditelan horizon dan tak pernah kembali.
Sekarang aku hanyalah sebatas kesadaran yang tak pernah tampak. Yang hanya dapat kamu lihat dengan mata tertutup. Gerak gerikku yang fana, suaraku yang abstrak. Sudah lebih dari cukup.
Kamu tak akan pernah tahu akan kehadiranku. Kehadiran yang lembut, selembut buih ombak pantai yang membasuh telapak kakimu. Menggerombol, dan menggelitik. Tersungkur dibawah kakimu tanpa pernah kamu menyadarinya. Walau hanya sebentar kembali, sebentar pergi.
Kamu tak akan pernah tahu gaungan suaraku. Hanya sebatas tarian daun kelapa yang saling membentur, maupun suara bocah-bocah yang berlarian di tepi pantai.
Kamu lelah menanti, aku yang tak pernah kembali. Sekarang jingga membasuh penuh punggungmu, dan kamu tak berani menghadapinya kembali. Suatu harga yang sangat mahal, memandang keindahan yang menaburi lukamu dengan garam.
Biarlah aku hanya menjadi sebuah kesadaran, dikala kau tak lagi terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar