20.2.11

Agama, Sebuah Kebiasaan atau Pencerahan?

Saya teringat saat saya dan teman saya, Viren, sedang chatting tentang agama. DIa pernah bertanya kepada beberapa temannya, ketika kalian memutuskan untuk mengikuti agama kalian masing-masing, apakah kalian tidak pernah melirik seperti apa agama lain daripada melihat yang sudah ada. Mereka berkata inilah jalan mereka yang ditunjukkan dari kecil.

Lantas, apakah agama sendiri adalah sebuah kebiasaan?

Apakah kalian penah berpikir, ya sudah saya cuma tahu agama in house doang sudah cukup, yang penting masuk surga. Ada satu lagu yang cukup menggelitik saya. Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada, dinyanyikan oleh Ahmad Dhani dan Chrisye. Satu penggal lirik yang simpel tapi menusuk Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya?


Lantas, jika surga dan neraka tak pernah ada, apakah kalian masih mengikuti agama kalian?

Tuhan itu hanya satu, hanya saja caranya berbeda. Biarlah agama di langit, yang hanya satu, tahu mana yang baik dan buruk. Agama yang terbit dari bumi tidak lebih dari media. Ibarat jejaring sosial, ada facebook, twitter, tumblr, dan masih banyak lagi. Banyak cara untuk mencari teman disana, lantas manakah yang paling cocok untuk kalian?

Tuhan hanya satu, tetapi jalan menujuNya tersebar di penjuru bumi. Jika kalian merasa jalan dibawah telapak kaki kalian hanyalah sebuah kebiasaan, kapan kalian mencari pencerahan?

Ketika banyak agama mengatakan Tuhan itu hanya milik agama kami, apakah cenderung tidak egois? Jika tidak mengikuti agama kalian, lantas kami akan dibakar dan disate hidup-hidup di neraka? Pakai sambel kacang gak, biar sekalian lengkap? Itu adalah statement paling egois yang pernah saya dengar dari para fanatik.

Tuhan selalu mencintai segala golongan, tidak pernah melihat status maupun bentuk. Dia mencintai kaum gelandang, kaum menengah, bahkan kaum kelas atas. Ketika mereka sadar akan satu eksistensi yang tidak pernah ia lihat, maka Tuhan selalu bekerja dalam hidupnya.

Untuk menjawab pertanyaan yang belum ada
Pasti kalian juga ingin bertanya bagaimana dengan saya sendiri? Saya tidak berjalan pada satu yang diajarkan dari masih kecil. Dia sendiri memberikan saya aba-aba kapan saya harus beranjak, berlari, berenang, dan akhirnya berhenti pada satu titik. Belajar memahami titik di tempat yang Ia bisikkan, sehalus udara.

Tidak pernah ada agama yang mengajarkan keburukkan. Yang ada hanyalah macam interpretasi pengikutNya yang semena-mena. Pluralisme itu indah bukan?

Tidak ada komentar: