4.6.11

Dua Gelas Iced Caramel Macchiato

Dua gelas Iced Caramel Macchiato kau taruh  di atas meja. Sebetulnya aku tidak tahu harus memesan apa, kopi itu yang kau pilih untukku, entah apa maksudnya. Tidak lupa geretan perak berukiran menara Eiffel dan sekotak rokok Marlboro menemani kita malam itu. Kau menjanjikan malam itu akan membawa buku yang kuminta. Tapi seperti biasa, kau lupa. Pikunmu itu tiada duanya.

Kau mengeluarkan sebuah buku, yang ternyata adalah dirimu sendiri, sambil menyalakan puntung rokok pertama. Konsep buku dapat dibawa ke dunia abstrak maupun konkrit.

Lembar pertama kau buka, aku melihat kau yang sendiri dalam keingintahuan dan penuh kegigihan itu. Dalam gelap kau percaya bahwa hari ini kau akan hidup, biarlah esok menjadi urusan esok.

Lembar kedua kau buka, aku melihat kau yang tertidur beratapkan bintang, kau yang bertaruh atas hidupmu, kau yang tergila-gila akan obat. Kau tidak pernah khawatir akan kemana dan menjadi apa. Karena di tepi sungai kau percaya, semua air akan bermuara ke lautan.

Lembar ketiga kau buka, aku melihat kau yang merintih dalam sakit, kau yang kehilangan satu tulang rusukmu, kau yang menjerit dalam lara. Sambil menangis kau yakin, masalah ada bukan untuk dilewati, melainkan dihadapi.

Lembar keempat kau buka. Kau yang pahit. Kau yang manis. Kau yang meminum Iced Caramel Macchiato, tahu bahwa ada sisi manis disetiap kepahitan. Tidak perlu ada yang disesali, nikmati saja apa yang terjadi.

Puntung rokok ke enam telah kau habiskan. Kau sudah menutup lembaran buku itu. Masih banyak halaman kosong yang belum kau isi. Walaupun begitu Iced Caramel Macchiato yang kau beli sudah habis. Sudah tiada lagi tersisa. Yang terkenang hanyalah rasa pahit dan manis yang dapat kau kecap sesekali.
“Hei, hidup itu udah susah, jangan dibikin susah. Enjoy your life!

Kau tersenyum sekali lagi, sambil menertawakan hidup yang absurd ini. Bukuku baru sampai lembaran kedua. Segelas kopi Macchiato yang kau beli untukku masih belum habis. Manis. Pahit. Bagaimanapun juga, itulah hidup. Kedua konsep rasa tersebut tak dapat kau pisahkan. Tak perlu mendengar apa kata orang tentang hidupmu. Hidup yang merana, hidup dengan sengsara, hidup penuh duka. Karena pada akhirnya, hanya dirimu sendiri yang tahu hidupmu. Kau sendiri yang menulis ceritamu.
.

Yang kau butuhkan dalam hidup bukanlah orang yang memberimu semuanya tanpa kau minta.
Yang kau butuhkan hanyalah mereka yang mengerti.
Mengapa burung terbang di udara,
mengapa ikan berenang di laut,
dan mengapa dirimu begitumu.
Itu sudah lebih dari cukup.





Second series of TERBANG

Tidak ada komentar: