13.9.11

Sekaleng Kopi Biru

13 September 2010. Bulan menjadi satu-satunya ornamen yang tertempel di langit ketika malam telah tiba. Tanpa bintang, hanya suara kendaraan yang hilir mudik. Aku melangkah ke sebuah mini market kecil, mengambil sekaleng kenangan yang telah dingin. Sekaleng kopi rasa Moccacino ukuran 200ml berwarna biru, yang aku sendiri tak tahu telah berapa lama tak disentuh.

Kakiku terhenti di depan kasir, sambil merogoh dompet di kantong untuk membayar sekaleng kopi tadi. Dan aku pun melihat sekotak Marlboro hijau tersusun rapih di belakang meja kasir. Hai kamu yang disana, apakah rokok yang kamu biasa hisap masih rokok yang sama atau sudah berubah? Atau mungkin kamu sudah tidak merokok lagi? Nyaris 2 bulan kita tidak bertemu, aku tak tahu bagaimana kabarmu. Ponsel hanya digunakan untuk kabar bohong belaka, aku tahu itu.

Seteguk sudah kopi itu kuminum. Pahit kopi dan rasa cokelat terasa di pangkal lidah. Rasa itu masih sama, hanya saja kali ini kuganti dengan cokelat, bukan susu seperti yang waktu itu kau traktir. Sambil berjalan  kuteguk lagi kopi tersebut. Nyaris 3 bulan dari waktu kita minum kopi bersama. Kopi yang biasa kau minum untuk tetap terbangun. Kopi yang biasa kau minum untuk tetap melihat masa depan. Dan sekarang giliran aku yang meminum kopi tersebut.

Hai kamu yang biasa mengajariku cara untuk hidup, kamu tak perlu repot-repot lagi datang dengan wujud seorang guru. Untuk sekarang, esok, dan seterusnya. Kamu tak perlu khawatir, sekaleng kopi cukup untuk menemaniku pada malam ini. Untuk esok, dan juga seterusnya.

Tidak ada komentar: